Senin, 07 Mei 2012

BBM, Ekspektasi Inflasi, dan Kesejahteraan Petani



PENDAHULUAN
Kenaikan harga BBM dapat berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat, tanpa terkecuali petani. Terlebih dengan adanya kenaikan harga BBM yang sebenarnya merugikan pihak petani melalui penimbunan.

PEMBAHASAN
Sebagaimana diketahui, harga eceran bahan bakar minyak bersubsidi di dalam negeri tidak jadi naik pada awal April ini. Pemerintah bersama parlemen telah menyetujui besaran baru Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun 2012 dengan defisit Rp 190 triliun (2,23 persen) jika kelak harga BBM jadi dinaikkan sebesar Rp 1.500 per liter.

Keputusan politik yang diambil pada Jumat dini hari itu akhirnya memberikan diskresi kepada pemerintah untuk menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi apabila harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesia crude oil price/ICP) mengalami perubahan lebih dari 15 persen dalam kurun waktu enam bulan. Dengan posisi harga ICP yang telah melampaui 120 dollar AS per barrel, pemerintah mungkin akan menaikkan harga BBM menjadi Rp 6.000 per liter pada Oktober 2012 jika harga ICP tetap bertahan tinggi.

Di satu sisi, masyarakat mungkin dapat terhibur dengan keputusan politik tersebut walaupun harga kebutuhan pokok sudah berangsur naik. Namun, di sisi lain keputusan yang sebenarnya meningkatkan ekspektasi inflasi (expected inflation) justru dapat memicu inflasi yang sebenarnya. Banyak analis memperkirakan laju inflasi bulan Maret akan berada di atas 0,1 persen walaupun musim panen padi telah dimulai. Laju inflasi tahunan 2012 ini akan berada di atas 5 persen, apalagi jika harga BBM kelak jadi dinaikkan.

Telah banyak bukti teoretis dan empiris bahwa ekspektasi yang lebih tinggi akan memengaruhi tingkah laku ekonomi yang menimbulkan tambahan-tambahan biaya baru. Dengan perkiraan inflasi naik, yang juga berarti menurunnya daya beli, masyarakat cenderung menanamkan modal pada investasi jangka panjang, seperti tanah dan properti. Perkiraan inflasi ini pun akan memperumit pengendalian harga, terutama pangan pokok, karena psikologi pasar sudah telanjur memiliki gambaran tidak stabil atau negatif.

Pengalaman empiris pada 2011 juga menunjukkan bahwa harga pangan dan kebutuhan pokok lain melonjak tinggi pada Juni-Agustus, terutama karena ekspektasi inflasi menghadapi Ramadhan dan Idul Fitri. Sepanjang Juli 2011 itu, harga beras kualitas murah sampai sedang telah naik melampaui 10 persen karena ekspektasi pedagang dan konsumen terhadap kenaikan harga yang akan terjadi. Pada 2012 ini, laju inflasi diperkirakan naik juga pada rentang musim kemarau tersebut karena panen padi telah selesai. Hanya sejumlah kecil petani yang mampu melakukan penyimpanan untuk keperluan pada musim paceklik.

Pada Senin ini, Badan Pusat Statistik akan mengumumkan laju inflasi bulan Februari, angka ramalan pertama produksi padi tahun 2012, dan beberapa statistik penting lainnya. Sekitar 65 persen dari produksi padi di Indonesia dihasilkan pada periode panen raya Maret-April ini dan 35 persen sisanya pada panen gadu September-Oktober. Apabila produksi gabah kering giling mampu lebih tinggi dari 65 juta ton, akan tebersit harapan baru untuk mencapai target ambisius surplus beras 10 juta ton. Demikian pula sebaliknya, apabila panen raya sekarang ini tidak menunjukkan kinerja yang spektakuler, harapan untuk meningkatkan kesejahteraan petani tampak masih jauh dari kenyataan.


Dampak kesejahteraan petani

Kalangan awam pun paham bahwa ekspektasi laju inflasi, apalagi jika disertai kenaikan harga BBM, akan menambah biaya pengeluaran masyarakat, tidak terkecuali petani. Ukuran yang paling kasar seperti nilai tukar petani pun telah menunjukkan kecenderungan memburuknya kesejahteraan petani. Nilai tukar petani kumulatif pada Februari 2012 tercatat 105,1 (turun 0,60 persen) dengan gambaran tidak baik diderita petani padi (turun 1,02 persen), nelayan (turun 0,39 persen), dan petani hortikultura (turun 0,23 persen).

Persoalan klasik di lapangan belum dapat ditanggulangi, seperti kenaikan harga faktor produksi pertanian, yaitu pupuk, pestisida, upah buruh, sewa lahan, dan lain-lain, karena akses yang tidak terlalu baik. Apalagi, dengan drama wacana kenaikan harga BBM satu-dua bulan terakhir, petani dan nelayan semakin sulit memperoleh bahan bakar sekadar untuk menyambung hidup karena spekulasi dan penimbunan yang marak terjadi. Tidak terlalu aneh walaupun laju inflasi nasional pada Februari 2012 tercatat 0,05 persen, laju inflasi di daerah pedesaan justru menembus 0,46 persen karena semua indeks kelompok pengeluaran naik.

Tidak perlu disebut lagi bahwa penguasaan lahan petani Indonesia sangat tidak merata karena sebanyak 53 persen dari 17,8 juta rumah tangga petani padi-palawija hanya menguasai lahan 0,5 hektar atau kurang. Petani skala kecil ini benar-benar menjadi salah satu kelompok yang sangat rentan terhadap perubahan pengeluaran, apalagi jika harus menanggung tambahan beban kenaikan harga BBM yang berwujud dari biaya transportasi, biaya produksi, sampai pada kebutuhan sehari-hari.

Demikian pula dari 30 juta (12,5 persen) masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, sekitar 19 juta di antaranya adalah penduduk pedesaan. Lebih memiriskan lagi, lebih dari 76 persen dari kelompok miskin ini sangat rentan terhadap kenaikan harga pangan, terutama beras. Artinya, peluang terjadinya kemiskinan baru sangat besar apabila masyarakat kecil ini memiliki ekspektasi laju inflasi yang cukup besar, terutama dari sektor pangan. Pengalaman kenaikan harga BBM tahun 2005 yang melonjakkan angka kemiskinan baru sampai 3 juta orang seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah agar mempersiapkan penanganan dampak yang demikian masif.

Rencana strategi kompensasi dengan bantuan langsung sementara masyarakat sebesar Rp 150.000 per bulan mungkin menjadi hiburan secara politik, tetapi sangat jauh untuk menanggulangi dampak kesejahteraan yang ditimbulkannya. Artinya, pemerintah masih memiliki waktu yang cukup untuk secara serius menyempurnakan skema perlindungan yang memadai bagi petani, nelayan, dan kelompok miskin lain.

Demikian pula Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah mungkin menjadi panduan secara administratif bagi Perum Bulog. Namun, tingkat kesejahteraan petani bukan persoalan administrasi belaka, melainkan persoalan hidup riil yang memerlukan langkah pemihakan dan perhatian yang memadai. Di sinilah sebenarnya harapan petani dan masyarakat banyak kepada penyelenggara negara di Indonesia.


PENUTUPAN
Persoalan petani sebaiknya lebih diperhatikan lagi, mengingat sering adanya penimbunan yang jelas-jelas merugikan. Belum lagi dengan penguasaan lahan petani Indonesia sangat tidak merata sangat rentan terhadap perubahan pengeluaran, apalagi jika harus menanggung tambahan beban kenaikan harga BBM yang berwujud dari biaya transportasi, biaya produksi, sampai pada kebutuhan sehari-hari.



Sumber :

Koperasi di Desa Berkaitan dengan Pertanian



PENDAHULUAN
Banyaknya masyarakat yang ikut berkecimpung dalam dunia politik juga penyebab dari lemahnya ekonomi karena semua berwawasan untuk mengurusi negara namun mengesampingkan ekonomi, padahal ekonomi harus berjalan dulu baru melangkah ke politik, namun saat ini justru sebaliknya masyarakat mengurusi politik yang akhirnya ekonominya sendiri menjadi kacau.

PEMBAHASAN
Koperasi Gapoktan Tani Sehat  (Badan Hukum No. 188.4/347/BH/2010) adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial dan beranggotakan para petani yang merupakan susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan menuju terciptanya kesejahteraan dan keberkahan petani. Keberadaan Koperasi Gapoktan Tani Sehat Brebes tidak dapat dilepaskan dari peran program pemberdayaan petani sehat yang telah dilakukan oleh Pertanian Sehat Indonesia unit jejaring CE Dompet Dhuafa. Program pemberdayaan petani sehat untuk klaster Brebes produk bawang merah diawali pada bulan tahun 2007 melalui proses Survey kelayakan Wilayah (SKW), sosialisasi program, dan pembentukan kelompok serta pendampingan petani. Sebelumnya tahun 2006 telah diawali kerjasama penelitian dengan Kementerian Lingkungan Hidup RI untuk konservasi lahan pertanian dengan pelaksana Pertanian sehat Indonesia (kala itu masih Pertanian Sehat Indonesia). Melalui proses penguatan SDM Petani, Kelembagaan, Pembiayaan dan penguatan teknologi pertanian tepat guna serta pembentukkan jaringan kerja petani, eksistensi koperasi dan gapoktan, kelompok dan mitra petani Tani Sehatterus dikembangkan.

Setelah melalui proses pendampingan intensif kurang lebih tiga tahun, maka keberadaan program dimandirikan pada tahun 2010 dalam bentuk badan hukum koperasi dengan pengelolaan program dilanjutkan oleh para kader dan pengurus gapoktan. Koperasi sebagai institusi ekonomi rakyat dengan watak sosial menjadi instrumen legal formal dalam pengembangan program yang telah berjalan dan membuka diri untuk bekerjasama dengan pihak luar.

Dengan dukungan berbagai pihak seperti Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten. Brebes serta instansi lainnya Koperasi Gapoktan Tani Sehat terus mengejar mimpi bersama, melanjutkan dan mengembangkan program pertanian dan pemberdayaan masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik dan penuh berkah khususnya untuk sub sektor pertanian hortikultur bawang merah.

Visi
Sebagai organisasi pertanian yang sehat dan mandiri mendorong peningkatan kesejahteraan petani melalui kegiatan agrabisnis yang berkelanjutan.

Misi
·         Meningkatkan pendapatan petani melalui kegiatan agribisnis tanaman pangan padi, bawang merah, cabe dan peternakan
·         Melakukan peningkatan kapasitas SDM dan organisasi petani melaluikegiatan pelatihan secara berkala
·         Melakukan kegiatan intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi usaha tani melalui penguatan modal usaha secara mandiri dan berkelanjutan
·         Melakukan pengembangan jaringan kerjasama melalui pola kemitraan yang adil dan professional

Jumlah Anggota dan Dana yang dikelola
Jumlah Anggota Koperasi Gapoktan Tani Sehat adalah 236 Petani dengan mengelola dana sebesarRp. 434.199.000

Kegiatan Utama Koperasi
Sebagai koperasi dengan basis wilayah potensinya adalah pertanian, maka fokus kegiatan koperasi gapoktan meliputi:
·         Perdagangan saprotan seperti pupuk, benih dll.
·         Produksi dan penjualan pupuk organik OFER
·         Jasa pelayanan pembayaran listrik on line
·         Pengembangan unit jasa keuangan syariah basis pertanian
·         Potensi Pengembangan Kerjasama Koperasi

Koperasi Gapoktan Tani Sehat Brebes merupakan hasil kombinasi antara kesungguhan, komitmen dan semangat para petani yang pada proses awalnyadidukung oleh Pertanian Sehat Indonesia, sebuah institusi pengembangan pertanian dan pemberdayaan masyarakat serta salah satu unit jejaring Community Enterprise (CE) Dompet Dhuafa. Dengan kapasitas yang dimiliki oleh Koperasi Gapoktan Tani Sehat dan lembaga pendukung Pertanian Sehat Indonesia (PSI) yang kompeten dalam bidang pertanian serta Dompet Dhuafa sebagai salah satu Lembaga Amil Zakat Nasional, maka untuk pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, Koperasi Tani Sehat siap bekerjasama dengan berbagai pihak.

Pada skala teknis, kerjasama yang dapat dilakukan Koperasi Tani Sehat dengan pihak luar baik swasta maupun pemerintah adalah program pengembangan pertanian baik berkaitan dengan pelatihan, aplikasi teknologi pertanian sehat tepat guna terutama untukkomoditas bawang merah maupun investasi usaha bidang pertanian. Untuk program pertanian, Koperasi Gapoktan Tani Sehat secara konseptual didukung penuh oleh Pertanian Sehat Indonesia (PSI) sebagai mitra strategis bidang pertanian. Demikian juga dalam bidang sosial, koperasi Tani Sehat siap menjadi penyalur bantuan sosial dan ekonomi untuk pemberdayaan masyarakat kurang mampu khususnya pada lingkup komunitas petani.

PENUTUP
Koperasi Gapoktan Tani Sehat  hendaknya bangkit untuk ikut serta membangun bangsa melalui pembangunan ekonomi pedesaan. Peran serta pemerintah sebagai motor penggerak roda ekonomi hendaknya ikut mendukung keberadaan Koperasi Gapoktan Tani Sehat  guna menggerakkan roda ekonomi desa lebih cepat.


Sumber :

Minggu, 29 April 2012

Mengajak Petani Berbisnis Agar Usaha Mereka Maju




PENDAHULUAN
Sampai saat ini, petani umumnya hanya melakukan aktivitas rutin untuk memproduksi komoditi yang latah. Petani mau mengubah pola pikir bertani jika sudah ada bukti. Perubahan ini tidak seperti membalikkan telapak tangan.

PEMBAHASAN
Agus Wiryana, salah seorang praktisi sekaligus pengamat pertanian, Rabu (7/3) kemarin menerangkan, sampai saat ini petani sangat sulit mengubah pola pikir demi kemajuan. Karakter petani kuat. Mereka sulit diajak mengubah pola tanam, komoditi yang dibudidayakan dan sebagainya.

Seseorang datang ingin mengajak petani mengembangkan komoditi tertentu yang memiliki pasar jelas. Namun petani tidak mudah menerimanya. “Perlu waktu dan teknik pendekatan. Kalau sudah ada bukti, semua petani sekitarnya akan mudah bergabung,” katanya.

Beberapa bulan lalu, pihaknya ingin bekerja sama dengan pembudi daya ikan nila. Pengumpulan data saja tidak mudah, semua petani ikan nila tertutup sehingga diperlukan pendekatan khusus. Ternyata, pembudi daya ikan nila kekurangan benih. Selama ini benih yang didapat baru 25 persen dari kebutuhan. “Maka itu, kami sekarang ini melakukan kerja sama penyediaan benih. Masalah pemasaran hasil ikan nila masih teratasi,'' katanya. 

Widhiarta pengamat pertanian lainnya menyatakan, untuk melibatkan petani harus ada bukti. Pembuktian inilah menjadi kendala karena perlu waktu dan hasilnya harus kontinyu. Selama ini, petani yang memproduksi padi diajak membudidayakan pepaya, cabai dan lain sebagainya sangat sulit. Mereka perlu bukti. Hasil budi daya yang baru tersebut pasarnya prospektif.

Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kota Denpasar, Ir. AA Gde Bayu Brahmastha, MMA. mengatakan, mengubah pola pikir petani/peternak/nelayan memang sulit. Akan tetapi, cara pendekatan akan memudahkan pembinaan.

Selama ini melakukan pembinaan dengan mengajak petani umumnya melihat sentra atau demplot yang sudah ada. Pembelajaran langsung tersebut akan memudahkan untuk memberikan pembelajaran baru secara nyata.

Contoh lainnya, berangkat dari mimpi untuk mandiri, para petani kentang di Dataran Tinggi Dieng pun memunculkan gagasan ekonomi kerakyatan. Dan, kini, mimpi itu terwujud. Ya, kini, mereka memiliki lembaga perbankan yang kuat berupa koperasi peduli masyarakat atau kopmas. Koperasi beranggota ribuan orang petani itu memiliki kekayaan miliaran rupiah.

Padahal, kali pertama menghimpun dana mereka hanya mampu mengumpulkan modal awal Rp 15 juta dari iuran. Sumekto Hendro Kustanto (46) adalah orang paling berpengaruh dan menjadi pemrakarsa pendirian koperasi itu. Dia merangkul seluruh kepala desa di Kecamatan Kejajar untuk bersatu dengan tujuan sama: memandirikan petani. Dia menuturkan gagasan mendirikan koperasi muncul pertengahan 2003. Ya, pegawai negeri sipil di Kejajar itu memiliki ide-ide yang acap tergolong liar dan tak kenal batas. ’’Sekarang koperasi itu sudah berkembang.

Saya sangat bersyukur,’’katanya. Dia menyatakan pengembangan koperasi berbasis petani di Wonosobo salah satu solusi tepat. Sebab, pelaku usaha daerah Dieng didominasi para petani sehingga tak sepantasnya petani hanya menjadi objek perbankan dan tak bisa menjadi penggerak. Usai membentuk koperasi, dia mengumpulkan para pemangku kebijakan. Pelatihan manajemen pengelolaan koperasi, pembukuan keuangan, dan strategi penyelenggaraan koperasi serba-usaha mandiri merupakan langkah awal untuk mewujudkan koperasi berbasis petani itu. ’’Orang-orang yang dulu jadi pengurus progam PNPM Mandiri desa keluar,’’ ujar dia.

Optimistis Waktu itu, Sumekto optimistis banyak sumber daya manusia di sekitar Dieng yang mampu mengelola koperasi. Sebagian di antara mereka adalah sarjana ekonomi, juragan kentang, dan perangkat desa yang rata-rata mempunyai lahan pertanian. Model transaksi di koperasi ini, kata dia, berlandaskan kepercayaan. Artinya, petani yang meminjam uang tak perlu menggunakan agunan atau jaminan seperti di bank. Untuk menggalang dana koperasi, setiap anggota menanamkan modal bervariasi antara Rp 1 juta dan tak terbatas. Para dermawan dan juragan kentang yang mapan diperbolehkan investasi dengan sistem bagi hasil yang jelas. Tak kalah menarik adalah model penagihan utang bagi nasabah yang ngemplang. Karena bermodal kepercayaan, mereka tak pernah menggunakan jasa penagih utang. Jika ada yang menunggak akan dikunjungi para petani lain ke rumah. ’’Cara itu cukup efektif karena para petani malu ditagih berombongan.’’ Sumekto menyadari betul langkah itu sangat menantang.

Namun dia yakin para petani harus diajak berkembang agar mandiri. Sebab, tidak selamanya pemerintah menggelontorkan progam bantuan ke kelompok tani. Manfaat lain dari koperasi berbasis petani adalah bisa mendapat modal, pelatihan, dan pegelolaan manajemen usaha. Setiap kali ada kesempatan, Sumekto menengok koperasi beranggota lebih dari 4.000 orang dengan omzet sekitar Rp 3 miliar itu. Kali Pertama Tak hanya soal penyediaan dana, koperasi juga menyediakan akses bagi petani yang butuh pupuk dan keperluan pertanian. Akhir 2011, koperasi itu menggandeng Bank Bukopin untuk perluasan akses pasar.

Salah satu bank nasional itu menjual hasil panen petani dengan harga terjaga. Tafrihan, pengurus koperasi, mengemukakan pengembangan koperasi berbasis petani baru kali pertama di Wonosobo. Langkah itu diyakini bakal berhasil karena di Wonosobo mayoritas pelaku usaha dari kalangan petani. Dia menuturkan prospek koperasi yang digagas Sumekto dan kawankawan bisa diterapkan di tingkat desa dalam bentuk berbeda dari konsep koperasi petani selama ini. Sejauh ini setelah mendapat pelatihan, para petani akan mengikuti rangkaian studi banding di dua daerah dengan manajemen usaha yang baik, yakni Jepara dan Kudus. Para petani juga mendapatkan akses permodalan dan jaminan pasar hasil panen. Gedung koperasi itu cukup mewah dengan interior modern. Koperasi yang berdiri 19 September 2003 itu dibuatkan akta pendirian 9 Juli 2009. Setiap pagi di halaman gedung koperasi di Jalan Dieng Km 17 Gataksari, Desa Serang, Kejajar, ramai nasabah. Mereka mayoritas orangorang desa.

Siang hari petani yang baru pulang dari ladang mampir untuk mengurus pencairan dana atau menabung. Saat berbincang-bincang di rumahnya di Bukit Madukoro, Desa Bomerto, di bawah kaki Gunung Sindoro, Sumekto terlihat santai. Sambil mengisap rokok dan minum teh hangat, dia menyatakan bersyukur dan selalu berdoa untuk kelancaran koperasi agar petani tetap mandiri. Petani Dieng, kata dia, mampu mengendalikan harga hasil panen, tanpa campur tangan pemodal dari luar daerah. Karena itulah dia sungkan disebut pemrakarsa koperasi trersebut, meski saat ini dia didaulat jadi pembina.


PENUTUP
Mengajak petani berbisnis memang tidak mudah, diperlukan modal dan pendekatan agar petani mau mencoba dalam berbisnis. Juga diperlukan wawasan untuk dapat berkomunikasi dengan baik kepada para petani. Agar semua itu dapat terwujud, sebaiknya kita melakukan persiapan yang cukup dalam menghadapi resiko yang akan datang sewaktu-waktu.


Referensi

HAK KONSUMEN YANG DILANGGAR OLEH PELAKU BISNIS



PENDAHULUAN
Konsumen adalah raja. Itulah pepatah bijak yang acap kita dengar. Tentu pepatah itu punya makna mulia.Konsumen, sebagai pengguna akhir barang/jasa, berposisi lebih tinggi dibanding pelaku usaha, sebagai penyedia barang/jasa. Namun, dalam realitas, hak-hak konsumen sering dimarginalkan. Bukan hanya oleh pelaku usaha, tapi juga oleh kebijakan negara yang tidak berpihak pada kepentingan konsumen. Bahkan tidak sedikit kebijakan negara yang justru mereduksi hak-hak dasar masyarakat konsumen.Terganggunya pasokan dan harga yang melambung pada kebutuhan pokok adalah bukti bahwa negara gagal total terhadap perilaku pasar yang liar dan distortif.

Itu pada konteks permasalahan makro. Belum lagi pada konteks permasalahan mikro empiris, pelanggaran hak-hak konsumen pun seolah menjadi pemandangan yang amat jamak. Pada konteks permasalahan mikro inilah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mewadahi dan menjembatani hak-hak konsumen yang dilanggar oleh pelaku usaha, yaitu menerima pengaduan konsumen.


PEMBAHASAN

Pada 2010,YLKI menerima 539 kasus pengaduan konsumen. Jumlah ini mengalami peningkatan karena pada 2009 jumlah pengaduan yang diterima oleh Bidang Pengaduan YLKI hanya 501. Berturut-turut adalah “lima besar”pengaduan, yaitu jasa telekomunikasi (93 kasus, 22,4 persen), jasa perbankan (79 kasus, 19 persen), sektor perumahan (75 kasus, 18 persen), ketenagalistrikan (75 kasus, 18 persen), dan jasa transportasi (35 kasus, 8,7 persen). Sedangkan pengaduan yang lainnya berkisar masalah kualitas pelayanan PDAM yang masih buruk (27 kasus, 6,5 persen), masalah trik dagang (17 kasus, 4,7 persen), masalah leasing sepeda motor (17 kasus, 4,7 persen), dan sektor otomotif (11 kasus, 2,6 persen).
Jika dielaborasi lagi, pengaduan dari tiap sektor adalah, pengaduan jasa telekomunikasi didominasi oleh fenomena “perampokan” pulsa oleh operator seluler dan atau content provider yang berkolaborasi dengan operator seluler. Konsumen tidak berlangganan fitur tertentu, tetapi pulsa dipotong. Atau, sekalipun berlangganan, ketika konsumen ingin berhenti (karena merasa dijebak, ditipu), dan telah melalui mekanisme berhenti berlangganan secara benar (“unreg”), upaya tersebut sering gagal. Patut diduga, pihak operator seluler sengaja mempersulit proses “unreg”dimaksud. Ironisnya, Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia (BRTI), yang seharusnya mempunyai otoritas penuh, toh terbukti tidak mampu berbuat banyak untuk menjewer operator nakal.

Kedua, jasa perbankan. Persoalan klasik yang membelit konsumen perbankan adalah masalah kartu kredit. Pengaduan yang dominan adalah, selain masalah debt collector yang acap melakukan tindakan premanisme kepada konsumen, adalah konsumen yang tidak mampu membayar tagihan kartu kredit. Kasus gagal bayar boleh jadi merupakan kesalahan konsumen sebagai nasabah bank. Namun hal ini lebih dipicu oleh longgarnya pihak bank dalam menerbitkan kartu kredit. Kini pemasaran kartu kredit begitu gencarnya, hanya berbekal kartu tanda penduduk, konsumen sudah bisa mengantongi “kartu utang”tersebut. Pihak bank praktis tidak melakukan analisis memadai, apakah konsumen layak mengantongi kartu kredit atau sebaliknya. Seharusnya Bank Indonesia mempunyai standar yang jelas untuk menertibkan pemasaran kartu kredit yang cenderung “mengelabui” konsumen.

Ketiga, pengaduan perumahan, mayoritas seputar keterlambatan serah-terima rumah, sertifikasi, mutu bangunan yang tidak sesuai, informasi marketing yang menyesatkan, serta tidak adanya fasilitas umum dan sosial. Bahkan masih banyak pengaduan perumahan yang amat ekstrem, yaitu pembangunan rumah tidak terealisasi. Ada-ada saja alasan pihak developer yang gagal membangun rumahnya, mulai dari terganjal perizinan (IMB, amdal), hingga kesulitan ekonomi yang mengakibatkan developer jatuh pailit. Lagi-lagi ironi terjadi, karena negara tidak bisa mempunyai regulasi yang cukup untuk melindungi konsumen perumahan. Contohlah negeri jiran Malaysia, yang menerapkan kebijakan bahwa developer dilarang menjual rumah sebelum rumahnya dibangun (ready stock). Bedanya di Indonesia; developer boleh menjual rumahnya, sekalipun rumahnya belum dibangun (sistem inden). Akibatnya, developer kabur, dan konsumen pun melongo.

Berikut ini adalah hak yang sering dilanggar pelaku bisnis
1.      Hak atas kenyamanan
2.      Hak untuk memilih
3.      Hak atas informasi
4.      Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya
5.      Hak untuk mendapat pendidikan
6.      Hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif
7.      Hak untuk mendapatkan ganti rugi
8.      Hak yang diatur dalam perundang-undangan lainnya

PENUTUP
Terkait dengan hal ini, ada dua kemungkinan: belum optimalnya spirit untuk mengadu dari konsumen; dan makin banyaknya akses pengaduan yang dilakukan oleh lembaga konsumen swadaya masyarakat. kehadiran negara untuk memberi perlindungan yang utuh kepada konsumen selaku warga negara praktis belum terasakan. Kehadiran negara hanya bersifat reaktif, bahkan dalam banyak kasus negara justru kompromistis-kolaboratif dengan pelaku usaha.



Referensi

Sejarah Hukum di Indonesia




PEDAHULUAN
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela."

PEMBAHASAN
1.          Periode Kolonialisme
Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.
a.          Periode VOC
Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk:
1)      Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda;
2)      Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan
3)      Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.
Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan hak-hak dasar rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di masa itu.
b.         Periode liberal Belanda
Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas.
Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta.
c.          Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang
Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah: 1) Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum; 2) Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi; 3) Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi; 4) Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas; 5) Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum. Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan: 1) Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan; 2) Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.
Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa perubahan perundang-undangan yang terjadi: 1) Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina; 2) Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Di bidang peradilan, pembaharuan yang dilakukan adalah: 1) Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan; 2) Unifikasi kejaksaan; 3) Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan; 4) Pembentukan lembaga pendidikan hukum; 5) Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan orang-orang pribumi.
2.          Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal
a.          Periode Revolusi Fisik
Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di dalam bidang peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi: 1) Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan dengan melakukan penyederhanaan; 2) Mengurangi dan membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan swapraja, kecuali badan-badan pengadilan agama yang bahkan dikuatkan dengan pendirian Mahkamah Islam Tinggi.
b.         Periode Demokrasi Liberal
UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia. Namun pada masa ini pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang berjalan hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.

3.          Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru
a.       Periode Demokrasi Terpimpin
Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat berpengaruh dalam dinamika hukum dan peradilan adalah: 1) Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif; 2) Mengganti lambang hukum ?dewi keadilan? menjadi ?pohon beringin? yang berarti pengayoman; 3) Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara langsung atas proses peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965; 4) Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional dan kontekstual.

b.      Periode Orde Baru
Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang perundang-undangan, rezim Orde Baru ?membekukan? pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama membentuk beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan: 1) Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif; 2) Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada masa orde baru tak ada perkembangan yang baik dalam hukum Nasional.


4.          Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat kali amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan negara, beberapa pembaruan formal yang mengemuka adalah: 1) Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan; 2) Pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia; dan 3) Pembaruan sistem ekonomi.
Penyakit lama orde baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh mengakar pada masa pasca orde baru, bahkan kian luas jangkauannya. Selain itu, kemampuan perangkat hukum pun dinilai belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku semacam itu. Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim (kini ditambah advokat) dilihat masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan Kejaksaan Agung meneruskan proses peradilan mantan Presiden Soeharto, peradilan pelanggaran HAM, serta peradilan para konglomerat hitam. Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber daya hukumnya secara mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan. Walaupun begitu, pembaruan hukum tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.

PENUTUP
Indonesia adalah negara yang menganut sistem hukum campuran dengan sistem hukum utama yaitu sistem hukum Eropa Kontinental. Selain sistem hukum Eropa Kontinental, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat dan sistem hukum agama, khususnya hukum (syariah) Islam. Uraian lebih lanjut ada pada bagian Hukum Indonesia.


Referensi

Pengakuan Hukum Terhadap Hak Milik




PENDAHULUAN
Pengakuan hukum sangatlah penting, agar apa yang menjadi hak kita tidak diambil orang lain. Diutusnya manusia di dunia ini guna mengemban amanah suci yaitu sebagai khalifah. Dan jelas bahwa ini semua memerlukan bekal yang cukup guna memenuhi kelangsungan hidupnya. Baik kebutuhan yang bersifat materi maupun non-materi. Sehingga ia tidak merasa kekurangan dan tidak pula tergantung kepada orang lain. Yang pada akhirnya ia akan merasa tenang beribadah kepada sang pencipta dalam menjalankan visi dan misinya sebagai khalifah dimuka bumi. Oleh karenanya, Allah menciptakan semua yang ada di atas bumi ini untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umat manusia. Pemberian status ini dilengkapi dengan pemberian pedoman atau petunjuk bagi mereka, agar bisa memperoleh keselamatan, baik di dunia maupun di akhirat.

PEMBAHASAN
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela."
Dari Segi Hukum Indonesia
Untuk menciptakan kepastian hukum  selain diperlukan perangkat hukum yang jelas, konsisten dalam penggunaan konsep juga harus didasarkan pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku secara universal. Sebagaimana diketahui bahwa prinsip hukum memegang fungsi ganda yakni sebagai fondasi dari hukum positif dan sebagai batu uji terhadap hukum positif itu karena prinsip hukum sebagai kaidah penilai[1].
Dengan adanya ketentuan  yang tumpang tindih, demikian pula banyaknya permasalahan yang terjadi dalam implementasinya, maka  perlu pula dilakukan penelitian mengenai prinsip hukum dalam perolehan hak atas tanah, prinsip hukum dalam pembangunan perumahan dan penormaannya dalam peraturan perundang-undangan di bidang perumahan.
Sistem adalah suatu kesatuan yang bersifat komplek, yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain untuk mencapai tujuan pokok dari kesatuan tersebut.[2] Dari pengertian tersebut maka dapat diambil berbagai unsur yang ada ketika bicara mengenai sistem yaitu:
1.         Adanya satu kesatuan yang bersifat komplek
2.         Adanya bagian-bagian atau  komponen-komponen
3.         Bagian-bagian atau komponen-komponen tersebut saling bekerjasama
4.         Bekerjanya komponen-komponen itu untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai oleh kesatuan tersebut
Dalam pembicaraan mengenai sistem hukum, maka peraturan-peraturan yang nampaknya berdiri sendiri itu sebenarnya diikat oleh beberapa pengertian yang lebih umum sifatnya yakni prinsip hukum. Dengan adanya ikatan oleh prinsip atau asas hukum ini maka hukum pun merupakan suatu sistem[3]. Karena merupakan suatu sistem maka peraturan yang dibuat antara satu dengan yang lain harus sinkron baik secara vertikal maupun horisontal, untuk mencapai tujuan.  Koesnoe mengemukakan bahwa dalam sistem tata hukum kita maka baik peraturan perundang-undangan maupun peraturan yang tidak tertulis beserta segala peraturan pelaksanaannya, diwajibkan untuk selalu mengikuti dan berjiwa rechtsidee yang dianut negara kita.[4]
Dalam sistem hukum pertanahan kita maka antara peraturan hukum pertanahan yang satu dengan peraturan yang lain tidak boleh bertentangan demi mencapai tujuan yang dikehendaki Berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai maka tidak terlepas dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang merupakan dasar konstitusional politik hukum pertanahan nasional yang menyebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Sebagaimana diketahui bahwa Asas domein yang dianut pada masa Pemerintahan Hindia Belanda  sebagaimana dimuat dalam Agrarisch Besluit Stb. 1870/118, memposisikan Negara sebagai pemilik tanah. Hal demikian jelas  bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia dan asas negara yang merdeka dan modern. Berdasarkan  Penjelasan Umum Angka II Butir (2) UUPA dikemukakan “tidaklah perlu dan tidaklah pada tempatnya bahwa Bangsa Indonesia atau Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (bangsa) Indonesia bertindak selaku badan penguasa”.
Hak menguasai negara tersebut bersumber dari hak bangsa Indonesia. Dalam Pasal 1 ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUPA ini tidak terlepas dari konsepsi hukum adat yakni “komunalistik religius yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan”[5].
Sebagaimana diketahui bahwa hukum pertanahan kita dasarnya adalah hukum adat. Dalam hukum adat hak ulayat adalah hak penguasaan tanah yang tertinggi. Hak ulayat merupakan hak bersama masyarakat hukum adat atas tanah.  Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, menyebutkan dalam Pasal 1 bahwa  hak ulayat adalah  kewenangan yang menurut adat dipunyai oleh masyarakat adat tertentu atas wilayah tertentu, yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.

PENUTUP
Wewenang  pengaturan oleh negara itu ditujukan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Arti dari sebesar-besar kemakmuran rakyat adalah kemakmuran untuk sebanyak mungkin orang tanpa melanggar hak dan keadilan, sedangkan arti pentingnya kesejahteraan dalam hubungannya dengan pemanfaatan tanah karena tujuan negara untuk melengkapi dan mendukung usaha masyarakat.


Referensi

Perusahaan yang Melanggar Aspek Hukum dan Etika Moral




PENDAHULUAN
Bisnis modern merupakan realitas yang sangat kompleks. Hal ini tidak hanya terjadi pada bisnis makro, namun juga mikro. Banyak faktor yang mempengaruhi dan menentukan kegiatan berbisnis. Sebagai kegiatan sosial, bisnis dengan banyak cara terjalin dengan kompleksitas masyarakat modern. Karena bisnis merupakan kegiatan sosial, yang di dalamnya terlibat banyak orang, bisnis dapat dilihat sekurang-kurangnya dari 3 sudut pandang berbeda, antara lain: sudut pandang ekonomi, sudut pandang hukum, dan sudut pandang etika.
Dilihat dari sudut pandang ekonomis, bisnis adalah kegiatan ekonomis. Hal yang terjadi dalam kegiatan ini antara lain tukar menukar, jual beli, memproduksi memasarkan, dan kegiatan lainnya yang bertujuan untuk mencari keuntungan. Namun, perlu diingat pencarian keuntungan dalam kegiatan berbisnis tidak hanya sepihak, tetapi diadakan dalam interaksi. Pada kenyataannya, banyak pelaku bisnis di Indonesia tidak memikirkan tentang hal tersebut. Mereka lebih cenderung untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan kerugian pihak lain. Sebagai contoh, seseorang yang ingin menjual sepeda motornya kepada seorang pembeli. Penjual tersebut menjual dengan harga tinggi. Padahal, banyak kekurangan pada motor tersebut. Namun si penjual tidak mengatakan hal tersebut kepada pembelinya. Dia tidak peduli dengan kerugian yang akan ditanggung oleh si pembeli. Yang diinginkan penjual tersebut adalah mendapat banyak keuntungan. Hal ini hanya ada satu pihak yang diuntungkan, sedangkan yang lain dirugikan.

PEMBAHASAN
Pelanggaran etika bisa terjadi di mana saja, termasuk dalam dunia bisnis. Untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya banyak perusahaan yang menghalalkan segala cara. Praktek curang ini bukan saja merugikan masyarakat, tapi perusahaan itu sendiri sebenarnya.
Perilaku etis dalam kegiatan berbisnis adalah sesuatu yang penting demi kelangsungan hidup bisnis itu sendiri. Bisnis yang tidak etis akan merugikan bisnis itu sendiri terutama jika dilihat dari perspektif jangka panjang. Bisnis yang baik bukan saja bisnis yang menguntungkan, tetapi bisnis yang baik adalah selain bisnis tersebut menguntungkan juga bisnis yang baik secara moral. Banyak hal yang berhubungan dengan pelanggaran etika bisnis yang sering dilakukan oleh para pebisnis yang tidak bertanggung jawab di Indonesia. Praktek bisnis yang terjadi selama ini dinilai masih cenderung mengabaikan etika, rasa keadilan dan kerapkali diwarnai praktek-praktek tidak terpuji atau moral hazard.
Pelanggaran etika yang sering dilakukan oleh pihak swasta, menurut ketua Taufiequrachman Ruki (Ketua KPK Periode 2003-2007), adalah penyuapan dan pemerasan. Berdasarkan data Bank Dunia, setiap tahun di seluruh dunia sebanyak US$ 1 triliun (sekitar Rp 9.000 triliun) dihabiskan untuk suap. Dana itu diyakini telah meningkatkan biaya operasional perusahaan. (Koran Tempo - 05/08/2006) Di bidang keuangan, banyak perusahaan-perusahaan yang melakukan pelanggaran etika. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Erni Rusyani, terungkap bahwa hampir 61.9% dari 21 perusahaan makanan dan minuman yang terdaftar di BEJ tidak lengkap dalam menyampaikan laporan keuangannya (not available).
Pelanggaran etika perusahaan terhadap pelanggannya di Indonesia merupakan fenomena yang sudah sering terjadi. Contohnya adalah kasus pelezat masakan merek ”A”. Kehalalan “A” dipersoalkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada akhir Desember 2000 setelah ditemukan bahwa pengembangan bakteri untuk proses fermentasi tetes tebu (molase), mengandung bactosoytone (nutrisi untuk pertumbuhan bakteri), yang merupakan hasil hidrolisa enzim kedelai terhadap biokatalisator porcine yang berasal dari pankreas babi.

PENUTUP
Pebisnis di Indonesia banyak yang melakukan pelanggaran etika dalam menjalankan kegiatan berbisnisnya. Walaupun tidak dapat dikatakan semua pebisnis melanggar etika. Pebisnis yang melanggar etika bukan hanya dari kalangan pebisnis yang mempunyai perusahaan besar dan maju, namun juga dilakukan pebisnis kecil yang menjalani bisnisnya dengan modal yang kecil.

Referensi