PENDAHULUAN
Konsumen adalah raja. Itulah
pepatah bijak yang acap kita dengar. Tentu pepatah itu punya makna
mulia.Konsumen, sebagai pengguna akhir barang/jasa, berposisi lebih tinggi
dibanding pelaku usaha, sebagai penyedia barang/jasa. Namun, dalam realitas,
hak-hak konsumen sering dimarginalkan. Bukan hanya oleh pelaku usaha, tapi juga
oleh kebijakan negara yang tidak berpihak pada kepentingan konsumen. Bahkan
tidak sedikit kebijakan negara yang justru mereduksi hak-hak dasar masyarakat
konsumen.Terganggunya pasokan dan harga yang melambung pada kebutuhan pokok
adalah bukti bahwa negara gagal total terhadap perilaku pasar yang liar dan
distortif.
Itu pada konteks permasalahan
makro. Belum lagi pada konteks permasalahan mikro empiris, pelanggaran hak-hak
konsumen pun seolah menjadi pemandangan yang amat jamak. Pada konteks
permasalahan mikro inilah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mewadahi
dan menjembatani hak-hak konsumen yang dilanggar oleh pelaku usaha, yaitu
menerima pengaduan konsumen.
PEMBAHASAN
Pada 2010,YLKI menerima 539 kasus
pengaduan konsumen. Jumlah ini mengalami peningkatan karena pada 2009 jumlah
pengaduan yang diterima oleh Bidang Pengaduan YLKI hanya 501. Berturut-turut
adalah “lima besar”pengaduan, yaitu jasa telekomunikasi (93 kasus, 22,4
persen), jasa perbankan (79 kasus, 19 persen), sektor perumahan (75 kasus, 18
persen), ketenagalistrikan (75 kasus, 18 persen), dan jasa transportasi (35
kasus, 8,7 persen). Sedangkan pengaduan yang lainnya berkisar masalah kualitas
pelayanan PDAM yang masih buruk (27 kasus, 6,5 persen), masalah trik dagang (17
kasus, 4,7 persen), masalah leasing sepeda motor (17 kasus, 4,7 persen), dan
sektor otomotif (11 kasus, 2,6 persen).
Jika dielaborasi lagi, pengaduan
dari tiap sektor adalah, pengaduan jasa telekomunikasi didominasi oleh fenomena
“perampokan” pulsa oleh operator seluler dan atau content provider yang
berkolaborasi dengan operator seluler. Konsumen tidak berlangganan fitur
tertentu, tetapi pulsa dipotong. Atau, sekalipun berlangganan, ketika konsumen
ingin berhenti (karena merasa dijebak, ditipu), dan telah melalui mekanisme
berhenti berlangganan secara benar (“unreg”), upaya tersebut sering gagal.
Patut diduga, pihak operator seluler sengaja mempersulit proses
“unreg”dimaksud. Ironisnya, Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia (BRTI),
yang seharusnya mempunyai otoritas penuh, toh terbukti tidak mampu berbuat
banyak untuk menjewer operator nakal.
Kedua, jasa perbankan. Persoalan
klasik yang membelit konsumen perbankan adalah masalah kartu kredit. Pengaduan
yang dominan adalah, selain masalah debt collector yang acap melakukan tindakan
premanisme kepada konsumen, adalah konsumen yang tidak mampu membayar tagihan kartu
kredit. Kasus gagal bayar boleh jadi merupakan kesalahan konsumen sebagai
nasabah bank. Namun hal ini lebih dipicu oleh longgarnya pihak bank dalam
menerbitkan kartu kredit. Kini pemasaran kartu kredit begitu gencarnya, hanya
berbekal kartu tanda penduduk, konsumen sudah bisa mengantongi “kartu
utang”tersebut. Pihak bank praktis tidak melakukan analisis memadai, apakah
konsumen layak mengantongi kartu kredit atau sebaliknya. Seharusnya Bank
Indonesia mempunyai standar yang jelas untuk menertibkan pemasaran kartu kredit
yang cenderung “mengelabui” konsumen.
Ketiga, pengaduan perumahan,
mayoritas seputar keterlambatan serah-terima rumah, sertifikasi, mutu bangunan
yang tidak sesuai, informasi marketing yang menyesatkan, serta tidak adanya
fasilitas umum dan sosial. Bahkan masih banyak pengaduan perumahan yang amat
ekstrem, yaitu pembangunan rumah tidak terealisasi. Ada-ada saja alasan pihak
developer yang gagal membangun rumahnya, mulai dari terganjal perizinan (IMB,
amdal), hingga kesulitan ekonomi yang mengakibatkan developer jatuh pailit.
Lagi-lagi ironi terjadi, karena negara tidak bisa mempunyai regulasi yang cukup
untuk melindungi konsumen perumahan. Contohlah negeri jiran Malaysia, yang
menerapkan kebijakan bahwa developer dilarang menjual rumah sebelum rumahnya
dibangun (ready stock). Bedanya di Indonesia; developer boleh menjual rumahnya,
sekalipun rumahnya belum dibangun (sistem inden). Akibatnya, developer kabur,
dan konsumen pun melongo.
Berikut ini adalah hak yang sering dilanggar pelaku bisnis
1. Hak atas
kenyamanan
2. Hak untuk
memilih
3. Hak atas
informasi
4. Hak untuk
didengar pendapat dan keluhannya
5. Hak untuk
mendapat pendidikan
6. Hak untuk tidak
diperlakukan secara diskriminatif
7. Hak untuk
mendapatkan ganti rugi
8. Hak yang
diatur dalam perundang-undangan lainnya
PENUTUP
Terkait dengan hal ini, ada dua
kemungkinan: belum optimalnya spirit untuk mengadu dari konsumen; dan makin
banyaknya akses pengaduan yang dilakukan oleh lembaga konsumen swadaya
masyarakat. kehadiran negara untuk memberi perlindungan yang utuh kepada
konsumen selaku warga negara praktis belum terasakan. Kehadiran negara hanya
bersifat reaktif, bahkan dalam banyak kasus negara justru
kompromistis-kolaboratif dengan pelaku usaha.
Referensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar